Quantcast
Channel: SMA – GuruPendidikan.Com
Viewing all articles
Browse latest Browse all 5405

“Kerajaan Buleleng” Sejarah & ( Kehidupan Politik – Sosial Budaya – Ekonomi – Agama )

$
0
0

“Kerajaan Buleleng” Sejarah & ( Kehidupan Politik – Sosial Budaya – Ekonomi – Agama )

GuruPendidikan.Com – Untuk pembahasan kali ini kami akan mengulas mengenai kerajaan buleleng yang dimana dalam hal ini meliputi sejarah, kehidupan politik, sosial budaya, ekonomi dan agama, nah agar lebih memahami dan dimengerti simak ulasannya dibawah ini.

Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali, kerajaan ini berkembang pada abad IX-XI Masehi. Kerajaan Buleleng diperintah oleh Dinasti Warmadewa, keterangan mengenai kehidupan masyarakat kerajaan Bulelengh pada masa Dinasti Warmadewa dapat dipelajari dari beberapa prasasti seperti prasasti Belanjong, Panempahan dan Melatgede.

Kerajaan Buleleng ialah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849. Kerajaan ini dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan dengan cara menyatukan seluruh wilayah-wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama Den Bukit.

Kehidupan Politik

Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa, berdasarkan prasasti Belanjong, Sri Kesari Warmadewa merupakan keturunan bangsawan Sriwijaya yang gagal menaklukan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kegagalan tersebut menyebabkan Sri Kesari Warmadewa memilih pergi ke Bali dan mendirikan sebuah pemerintahan baru diwilayah Buleleng.

Pada tahun 989 hingga 1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh Udayana Warmadewa, Udayana memiliki tiga putra yakni Airlangga, Marakatapangkaja dan Anak Wungsu, kelak Airlangga akan menjadi terbesar Kerajaan Medang kemulan di Jawa Timur. Menurut prasasti yang terdapat di pura batu Madeg, Raja Udayana menjalin hubungan erat dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur. Hubungan ini dilakukan karena permaisuri Udayana bernama Gunapriya Dharmapatni merupakan keturunan Mpu Sindok, kedudukan Raja Udayana digantikan putranya yakni Marakatapangkaja.

Rakyat Buleleng menganggap Marakatapangkaja sebagai sumber kebenaran hukum karena ia selalu melindungi rakyatnya, Marakatapangkaja membangun beberapa tempat peribadatan untuk rakyat. Salah satu peninggalan Marakatapangkaja ialah kompleks candi di Gunung Kawi “Tampaksiring”. Pemerintahan Marakatapangkaja digantikan oleh adikanya, Anak Wungsu. Anak Wungsu merupakan raja terbesar dari Dinasti Warmadewa. Anak Wungsu berhasil menjaga kestabilan kerajaan dengan menaggulangi berbagai gangguan baik dari dalam maupun luar kerajaan.

Dalam menjalankan pemerintahan, Raja Buleleng dibantu oleh badan penasihat pusat yang disebut pakirankiran I Jro makabehan. Badan ini terdiri atas senapati dan pendeta Siwa serta Buddha. Badan ini berkewajiban memberi tafsiran dan nasihat kepada raja atas berbagai permasalahan yang muncul dalam masyarakat, Senapati bertugas di bidaang kehakiman dan pemerintahan, sedangkan pendeta mengurusi masalah sosial dan agama.

Kehidupan Sosial Budaya

Para ahli memperkirakan keadaan masyarakat Buleleng pada masa Dinasti Warmadewa tidak begitu jauh berbeda dengan masyarakat pada saat ini. Pada masa pemerintahan udayana masyarakat hidup berkelompok dalam suatu daerah yang disebut wanua. Sebagian besar penduduk yang tinggal di wanua bermata pencaharian sebagai petani. Sebyah wanua dipimpin seorang tetua yang dianggap pandai dan mampu mengayomi masyarakat.

Pada masa pemerintahan Anak Wungsu, masyarakat Buleleng dibagi menjadi dua kelompok besar yakni golongan caturwarna dan golongan luar kasta “jaba”, pembagian ini didasarkan pada kepercayaan Hindu yang dianut masyarakat Bali. Raja anak Wungus juga mengenalkan sistem penamaan bagi anak pertama, kedua, ketiga dan keempat dengan nama pengenal sebagai berikut.

  • Anak pertama dinamakan wayan, kata wayan berasal dari wayahan yang berarti tua.
  • Anak kedua dinamakan made, kata made berasal dari madya yang berarti tengah.
  • Anak ketiha dinamakan nyoman, kata nyoman berasal dari nom yang berarti muda.
  • Anak keempat dinamakan nyoman, kata ketut berasal dari tut yang berarti belakang.

Selama pemerintahan Anak Wungsu peraturan dan hukum ditegakkan dengan adil, masyarakat diberi kebebasan berbicara. Jika masyarakat ingin menyampaikan pendapat mereka didampingi pejabat desa untuk menghadap langsung kepada raja. Kebebasan tersebut membuktikan Raja Anak Wungsu sangat memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya.

Masyarakat Buleleng sudah mengembangkan berbagai kegiatan kesenian, kesenian berkembang pesat pada masa pemerintahan Raja Udayana, pada masa ini kesenian dibedakan menjadi dua yakni seni keraton dan seni rakyat. Dalam seni keraton dikenal penyanyi istana yang disebut pagending sang ratu, selain penyanyi dikenal pula kesenian petapukan “topeng”, pemukul “gamelan”, banwal “gadelan” dan pinus “lawak”. Adapun jenis kesenian yang berkembang di kalangan rakyat antara lain awayang ambaran “wayang keliling”, anuling “peniup suling”, atapukan (permainan topeng”, parpadaha “permainan genderang” dan abonjing “permainan angklung”.

Kehidupan Ekonomi

Kegiatan ekonomi masyakarat Buleleng bertumpu pada sektor pertanian, keterangan kehidupan ekonomi masyarakat Buleleng dapat dipelajari dari prasasti bulian. Dalam prasasti bulian terdapat beberapa istilah yang berhubungan dengan sistem bercocok tanam seperti sawah, parlak “sawah kering”, gaga ” ladang”, kebwan “kebun”, mmal ” ladang di pegunungan” dan kasuwakan “pengairan sawah”.

Pada masa pemerintahan Marakatapangkaja kegiatan pertanian berkembang pesat, perkembangan tersebut erat kaitannya dengan penemuan urut-urutan menanam padi yakni mbabaki “pembukaan tanah”, mluku “membajak”, tanem “menanam padi”, matun “menyiang”, ani-ani “menuai padi” dan nutu “menumbuk padi”. Dari keterangan tersebut sangat jelas bahwa pada masa pemerintahan Marakatapangkaja penggarapan tanah sudah maju dan tidak jauh berbeda dengan pengolahan tanah pada masa ini.

Perdagangan antarpulau di Buleleng sudah cukup maju, kemajuan ini ditandai dengan banyaknya saudagar yang bersandar dan melakukan kegiatan perdagangan dengan penduduk Buleleng. Komoditas dagang yang terkenal dari Buleleng ialah kuda. Dalam prasasti Lutungan disebutkan bahwa Raja Anak Wungsu melakukan transaksi perdagangan tiga puluh ekor kuda dengan saudagar dari Pulau Lombok. Keterangan tersebut membuktikan bahwa perdagangan pada saat itu sudah maju sebab kuda merupakan binatang besar sehingga memerlukan kapal besar pula untuk mengangkutnya.

Kehidupan Agama

Agama Hindu Syiwa mendominasi kehidupan masyarakat Buleleng, akan tetapi tradisi megalitik masih mengakar kuat dalam masyarakat Buleleng. Kondisi ini dibuktikan dengan penemuan beberapa bangunan pemujaan seperti punden berunduk disekitar pura-pura Hindu. Pada masa pemerintahan Janasadhu Warmadewa “975-983” pengaruh Buddha mulai berkembang di Buleleng. Agama Buddha berkembang di beberapa tempat di Buleleng seperti Pejeng, Bedulu dan Tampaksiring, perkembangan agama Buddha di Buleleng ditandai dengan penemuan unsur-unsur Buddha seperti arca Buddha di gua Gajah dan stupa dipura Pegulingan.

Agama Hindu dan Buddha mulai mendapatkan peranan penting pada masa Raja Udayana. Pada masa ini pendeta Syiwa dan Brahmana Buddha diangkat sebagai salah satu penasihat raja. Sesuai dengan kepercayaan Hindu, raja dianggap penjelmaan “inkarnasi” dewa. Bukti ini menunjukkan bahwa Raja Anak Wungsu dan rakyat Buleleng merupakan penganut waisnawa yakni pemuja Dewa Wisnu. Selain agama Hindu dan Buddha di Buleleng berkembang sekte-sekte kecil yang menyembah dewa-dewa tertentu, misalnya sekte Ganapatya “penyembah Dewa Gana” dan Sora “penyembah dewa Matahari”.

Demikianlah pembahasan mengenai “Kerajaan Buleleng” Sejarah & ( Kehidupan Politik – Sosial Budaya – Ekonomi – Agama ) semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan kalian semua, terima kasih banyak atas kunjungannya. 🙂 🙂 🙂

Baca Juga:


Viewing all articles
Browse latest Browse all 5405

Trending Articles